Pengertian
tasawuf yang di dalam bahasa asing
disebut mystic atau sufism, berasal
dari kata suf yakni wol kasar yang dipakai oleh seorang
muslim yang berusaha dengan berbagai upaya yang telah ditentukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Orang yang melakukan upaya demikian disebut sufi dan ilmu yang menjelaskan
upaya-upaya serta tingkatan-tingkatan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan
dimaksud dinamakan ilmu tasawuf.
Ilmu
tasawuf adalah ilmu yang menjelaskan tata cara pengembangan rohani manusia
dalam rangka usaha mencari dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan
pengembangan rohani, kaum sufi ingin menyelami makna syari’ah secara lebih
mendalam dalam rangka menemukan hakekat
agama dan ajaran agama Islam. Bagi kaum sufi yang mementingkan syari’ah dan
hakikat sekaligus, shalat misalnya, tidaklah hanya sekedar pengucapan sejumlah
kata dalam gerakan tertentu, tetapi adalah dialog spiritual antara manusia
dengan Tuhan.
Ada 4 (emapt) aliran tasawuf, yakni:
1.
Qadiriyah, aliran ini memuliakan pendirinya Abdul Qadir al- Jailani (116
M). Menurut para pengikutnya, Abdul Qadir al-Jailani adalah orang suci. Kini
yang menjadi pemimpin tarikat Qadiriyah
adalah juru kunci kuburan Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad. Aliran ini
berpengaruh di Afrika Utara, Asia Kecil, Pakistan, India, Malaysia dan
Indonesia.
2.
Rifa’iyah, aliran ini didirikan oleh Muhammad ar-Rifa’i (1183 M).
Tarikat Rifa’i terkenal dengan amalannya berupa penyiksaan diri dengan melukai
bagian-bagian badan dengan senjata tajam diiringi dengan dzikir-dzikir
tertentu.
3.
Sammaniyah, aliran ini didirikan oleh Syeikh Muhammad Samman. Riwayat
hidup pendiri tarekat ini sangat terkenal dahuli di Jakarta. Cara mencapai
tujuan akhir diantaranya adalah berdzikir dengan suara lantang.
4.
Syattariyah, aliran ini didirikan oleh Abdullah as-Syattari (1417 M).
Aliran ini percaya pada ajaran kejawen mengenai tujuh tingkat keadaan Allah
SWT. yang disebut dalam ilmu hakikat. Nabi Muhammad SAW. dilambangkan oleh
aliran ini sebagai manusia sempurna (insan kamil) yang memantulkan kekuatan
Illahi seperti cermin memantulkan cahaya. Pada aliran ini juga terdapat
kepercayaan bahwa semua manusia mempunyai bakat untuk menjadi manusia sempurna
dan harus berusaha untuk mencapai kesempurnaan itu. Dalam hubungan ini terdapat
pandangan tentang hubungan manusia dengan Allah SWT. seperti seorang pelayan
dengan majikannya.
5. Naqsyabandiyah, aliran ini didirikan oleh
Muhammad an- Naqsyabandi (1388 M).
Aliran ini menyelenggarakan dzikir tertutup atau dzikir diam yakni menyebut
nama Allah SWT. dengan berdiam diri.
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan
Al-Hadits. Kedua sumber agama Islam itu penuh dengan nilai dan norma yang menjadi
ukuran sikap dan perbuatan manusia apakah baik atau buruk, benar atau salah.
Isi Al-Qur’an dan Al-Hadits penuh dengan akhlak Islami yang perlu diteladani
dan dilaksanakan dalam hidup dan kehidupan sehari-hari setiap muslim dan
muslimat. Islam sebagai agama dan ajaran mempunyai sistem sendiri yang
bagian-bagiannya saling bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Intinya
adalah tauhid, yang berkembang
melalui aqidah, dari aqidah mengalir syari’ah dan akhlak Islam.
Pandangan
Ummat Islam Terhadap Tasawuf
Mengenai
asal-usul perkataan tasawuf para ahli berbeda pendapat. Di antara pendapat yang
banyak itu, ada satu pendapat yang sering ditulis dalam buku-buku mengenai
tasawuf di Indonesia. Pendapat itu mengatakan tasawuf berasal dari kata suf
artinya bulu domba kasar. Disebut demikian karena orang-orang yang memakai
pakaian itu disebut orang-orang sufi atau mutasawwif, hidup dalam kemiskinan
dan kesederhanaan. Mereka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang
sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian yang
terbuat dari sutera yang biasa dipakai
oleh orang-orang kaya. Banyak juga definisi yang diberikan untuk merumuskan
makna yang dikandung oleh perkataan tasawuf.
Menurut at-Taftazani, tasawuf mempunyai
5 (lima) ciri, yaitu :
1. Memiliki nilai-nilai moral.
2. Pemenuhan fana (sirna, lenyap) dalam realitas
mutlak.
3. Pengetahuan intuitif (berdasarkan bisikan
hati) langsung.
4. Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah
SWT. dalam diri sufi karena tercapainya maqamat (beberapa tingkatan perhentian)
dalam perjalanan sufi menuju (mendekati) Tuhan.
5. Penggunaan lambang-lambang pengungkapan
(perasaan) yang biasanya mengandung pengertian harfiah dan tersirat.
(Ensiklopedi Islam, 1933: 73 – 75)
Tasawuf juga berdasarkan Al-Qur’an dan
Al-Hadits, dapat dilihat ayat-ayat dan hadits-hadits yang menggambarkan
dekatnya manusia dengan Allah SWT. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1. QS.
Al-Baqarah ayat 115 artinya :
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka
kemanapun kamu menghadap disitulah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
2. QS.
Qaf ayat 16 artinya :
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikan
oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”.
3. Hadits
Riwayat Imam Bukhari, artinya :
“Barang siapa memusuhi seseorang
wali-Ku (wali Allah SWT. adalah orang yang dekat
dengan-Nya), maka aku mengumumkan permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu
yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Kusukai dari pengalaman segala yang Kuwajibkan atasnya. Kemudian,
hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan
diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah,
maka Aku senantiasa mencintainya. Bila Aku telah cinta kepadanya, Akulah pendengarnya dengan ia mendengar, Aku
penglihatannya dengannya ia melihat,
Aku tangannya dengannya ia memukul, dan Aku kakinya dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku
perkenankan permohonannya, jika ia meminta
perlindungan, Kulindungi ia”.
Sejak muncul paham widhatul wujud, tasawuf pecah menjadi dua aliran, yaitu aliran
pertama, aliran tasawuf yang didasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan
aliran yang kedua, aliran fana yang disebut sebagai tasawuf falsafi, disebut
demikian karena teori-teori yang dikemukakannya banyak mengandung unsur-unsur
filsafat (Ensiklopedi Islam, 1992: 76 -77, 158 – 160).
Stasiun-Stasiun
dalam Tasawuf untuk Mengakrabkan Diri dengan Allah SWT.
Ada empat macam tahapan yang harus
dilalui oleh seorang hamba yang menekuni ajaran tasawuf untuk mencapai suatu
tujuan yang disebut sebagai “As-Sa’adah” menurut
Imam Al-Ghazali dan “Insanul Kamil” menurut Muhyiddin bin ‘Arabiy, diantaranya
sebagai berikut :
1. Syari’at, adalah hukum-hukum yang telah
diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah ditetapkan oleh
ulama melalui sumber nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits atau dengan cara istimbat
yaitu hukum-hukum yang telah diterangkan dalam ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawuf.
Isi syari’at mencakup segala macam perintah dan larangan dari Allah SWT.
Perintah-perintah itu disebut sebagai istilah ma’ruf yang meliputi perbuatan yang hukumnya wajib atau fardhu,
sunnah, mubah atau membolehkan. Sedangkan larangan-larangan dari Allah SWT.
disebut dengan munkar yang meliputi
perbuatan yang hukumnya haram dan makruh. Baik yang ma’ruf maupun munkar sudah
ada petunjuknya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
2. Tarekat, adalah pengamalan syari’at,
melaksanakan beban ibadah dengan tekun dan menjauhkan dari sikap mempermudah
ibadah yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah (diremehkan). Kata tarekat
dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi amaliah ibadah dan dari sisi
organisasi (perkumpulan). Sisi amaliah ibadah merupakan latihan kejiwaan, baik
yang dilakukan oleh seorang atau secara bersama-sama, dengan melalui dan
mentaati aturan tertentu untuk mencapai tingkatan kerohanian yang disebut maqamat atau al-ahwal, yang mana latihan ini diadakan secara berkala yang juga
dikenal dengan istilah suluk.
Sedangkan dari sisi organisasi maka tarekat berarti sekumpulan salik (orang yang melakukan suluk) yang
sedang menjalani latihan kerohanian tertentu yang bertujuan untuk mencapai
tingkat atau maqam tertentu yang dibimbing dan dituntun oleh seorang guru yang
disebut mursyid.
Adapun tingkatan maqam tarekat tersebut
antara lain menurut Abu Nashr As-Sarraj adalah sebagai berilut :
a. Tingkatan
Taubah
b. Tingkatan
Wara’
c. Tingkatan
Az-Zuhd
d. Tingkatan
Al-Faqru
e. Tingkatan
Al-Shabru
f. Tingkatan
At-Tawakkal
g. Tingkatan
Ar-Ridha
3. Hakikat, adalah suasana kejiwaan seorang
salik (sufi) ketika ia mencapai suatu tujuan tertentu sehingga ia dapat
menyaksikan tanda-tanda ketuhanan dengan mata hatinya.
Hakikat
yang didapatkan oleh seorang sufi setelah lama menempuh tarekat dengan
melakukan suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dialami dan
dihadapinya. Karena itu seorang sufi sering mengalami tiga macam tingkatan
keyakinan, yaitu :
a. ‘Ainul Yaqin, yaitu
tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam
semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah SWT. sebagai
penciptanya.
b. ‘Immul Yaqin, yaitu
tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat
kebesaran Allah SWT. pada alam semesta ini.
c. ‘Haqqul Yaqin, yaitu
tingkatan keyakinan yang didominasi oleh hati nurani sufi tanpa melalui
ciptaan-Nya, sehingga ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada
Allah SWT. Maka kebenaran Allah SWT. langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa
diragukan oleh keputusan akal.
Pengalaman
batin yang sering dialami oleh seorang sufi melukiskan bahwa betapa erat kaitan
antara hakikat dengan ma’rifat, di mana hakikat itu merupakan tujuan awal
tasawuf, sedangkan ma’rifat merupakan tujuan akhirnya.
4. Ma’rifat, adalah hadirnya kebenaran
Allah SWT. pada seseorang sufi dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan
nur Ilahi. Ma’rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan dalam akal pikiran. Barang siapa meningkatkan ma’rifatnya,
maka meningkat pula ketenangan hatinya.
Akan
tetapi tidak semua sufi dapat mencapai pada tingkatan ini, karena itu sesorang
yang sudah sampai pada tingkatan ma’rifat ini memiliki tanda-tanda tertentu,
antara lain :
a. Selalu
memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu
sikapwara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak
menjadikan keputusan pada suatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata,
karena hal-hal yang nyata menurut ajaran tasawuf belumtentu benar.
c. Tidak
menginginkan nikmat Allah SWT. yang banyak baut dirinya, karena hal itu bisa
membawanya pada hal yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa
seseorang sufi tidak menginginkan kemewahan dalam hidupnya, kiranya kebutuhan
duniawi sekedar untuk menunjang ibadahnya, dan tingkatan ma’rifat yang dimiliki
cukup menjadikan ia bahagia dalam hidupnya karena merasa selalu bersama-sama
dengan Tuhannya.
Sumber : bab 6 Elearning Bpak Dr.Mulyadi
0 coment�rios